Kak kila,jom jalan petang nanti?
Ok.Dengan syarat korang teman dulu akak pergi petik sayur kacang bendi.
Tempat kejadian:
Kak kila,nak petik yang mana?
Ermmm.petik je yang besar-besar tu.*buat muka konfiden dapat masuk masterchef final*
Sesi presentation : (Juri : mak sendiri)
Juri: Woi.mana belajar petik bendi ni?
Peserta: Eh,kenapa mak? Betul lah tu sayur bendi.
Juri tahan sabar :Yang ni tunggu kau tumbuh urat gigi dawai besi pun tak boleh hadam. Anakku oh anakku.
Peserta kepala batu: Erkk.tapi kan mak,okey2.kita ambik situasi.kalau kat kedai tu ada buah epal.lepas tu mak nak beli.mak pilih yang besar ke yg kecik? Kalau mak dibagi pilihan menantu.mak nak pilih yang gemuk ke yang kurus?
Juri : (. . .)
Yang membaca ni dah tau belum nak petik sayur kacang bendi tu? Kepada para mak-mak mertua diluar sana.apa kata anda uji dulu bakal menantu-menantu anda tu dengan trick ini.hahaha.kalau dulu cerita Musang Berjanggut.Gula,garam , bawang, cili, beras semua gaul sekali taruh dalam uncang:D selagi tak dapat nak asingkan,jangan harap dapat kahwin.
Malu eh belajar sampai phd, bila suruh petik bendi pun.. _ _''
Ada kata hikmah yang menyatakan : “Ilmu ada tiga tahap. Jika seorang memasuki tahap pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahap kedua ia akan tawadhu’. Dan jika ia memasuki tahap ketiga ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya”.
Maksud kata hikmah tersebut adalah :
Pada tahap pertama, seorang penuntut ilmu yang baru belajar biasanya akan sombong. Ia tidak menyadari keadaan dirinya dan mengira telah mencapai kedudukan yang mulia. Bahkan tak jarang ia melecehkan ulama yang lebih alim darinya. Padahal dirinyalah yang masih jahil dan masih banyak kekurangannya. Para ahli ilmu dapat mengetahui jejak orang-orang semacam ini seperti dikatakan Al Khathib Al Baghdadi :العالم يعرف الجاهل، لأنه قد كان جاهلا، والجاهل لا يعرف العالم، لأنه لم يكن عالما“Orang alim dapat mengenali orang jahil karena dia dulunya juga jahil. Sedangkan orang jahil tidak mengetahui orang alim karena dia belum pernah jadi orang alim”. (Al Faqih Wal Mutafaqqih : 2/365).
Pada tahap kedua, ia akan tawadhu’ karena mulai merasakan bahwa ilmunya tidak seberapa dan ternyata masih banyak yang belum diketahuinya. Ia pun mulai sadar akan kekurangan dirinya, dan ini menuntunnya untuk lebih banyak belajar dan menimba ilmu yang berguna.
Pada tahap ketiga, ia merasa tidak ada apa-apanya karena ternyata ilmu bagaikan samudera tak bertepi. Bahkan jika ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk menuntut ilmu, maka yang ia dapatkan masih sedikit karena lautan ilmu tak terhingga luasnya.
Sampai-sampai seorang penyair berkata :ما حوى العلم جميعا أحدلا ، ولو مارسه ألف سنة“
Tak ada seorangpun yang dapat menguasai semua ilmu yang ada,Tak akan bisa, meskipun ia mempelajarinya selama seribu tahun lamanya”.(Miftahus Sa’adah, Ahmad bin Musthafa : 1/6).
Memang demikianlah sebenarnya hakikat ilmu manusia,
sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala :قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al-Kahfi : 109).
Wallahualam. :)